
Fenomena penutupan kios makanan kaki lima di Singapura terus menjadi sorotan, dengan ribuan usaha kuliner gulung tikar dalam kurun waktu setahun terakhir. Lebih dari 3.000 gerai makanan dan minuman (F&B) dilaporkan tutup pada tahun lalu, rata-rata 250 setiap bulan, menjadikannya angka tertinggi dalam hampir dua dekade. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2025 saja, 2.431 gerai F&B telah menghentikan operasinya. Banyak di antaranya adalah usaha kecil, termasuk kios-kios makanan kaki lima yang menjadi ikon kuliner Singapura.
Kenaikan biaya sewa disebut-sebut sebagai salah satu faktor pendorong utama di balik gelombang penutupan ini. Banyak penyewa melaporkan peningkatan sewa antara 20 hingga 49 persen, sebuah kondisi yang belum pernah terjadi dalam 15-20 tahun terakhir menurut Terence Yow, Ketua Singapore Tenants United for Fairness (SGTUFF). Beberapa penjual makanan menghadapi biaya sewa yang melonjak hingga S$5.000 bahkan S$8.000 per bulan.
Seorang konsultan dan pembicara profesional, Indera Tasripin, mengungkapkan keprihatinannya pada Mei 2025 setelah sebuah warung makan Melayu populer di Woodlands terpaksa tutup karena kenaikan sewa yang tidak berkelanjutan mencapai S$8.000. Hal ini terjadi meskipun warung tersebut telah berupaya mempertahankan harga makanan yang terjangkau bagi warga sekitar. Contoh lain termasuk kios Zhong Xing Foochow Fish Balls & Lor Mee yang tutup karena "kenaikan sewa yang cukup besar" oleh pemilik kedai kopi, dan Lucky Lucky Catering & Restaurant yang menghentikan operasi karena "tarif sewa dan biaya yang meningkat". Komentar di media sosial juga menyoroti kekhawatiran bahwa hanya "pemain besar" yang mampu bertahan dalam kondisi sewa yang tinggi ini.
Menanggapi situasi ini, Badan Lingkungan Nasional (NEA) pada November 2024 memperkenalkan langkah baru untuk mencegah tawaran sewa yang terlalu tinggi untuk kios-kios makanan kaki lima. Kebijakan baru ini akan menunda penyesuaian sewa ke bawah secara bertahap selama periode yang lebih panjang, alih-alih langsung disesuaikan ke tarif pasar setelah masa sewa tiga tahun pertama. Hal ini bertujuan untuk mendorong penawar agar lebih berhati-hati dan bijaksana dalam mengajukan tawaran sewa.
Meskipun demikian, Wakil Menteri Senior untuk Keberlanjutan dan Lingkungan, Koh Poh Koon, menyatakan bahwa biaya sewa merupakan komponen yang relatif kecil, kurang dari 10 persen dari total biaya operasional bagi penjual makanan kaki lima. Menurut survei NEA, biaya bahan baku menyumbang sekitar 60 persen dan biaya tenaga kerja sekitar 20 persen dari pengeluaran hawker. NEA juga mencatat bahwa median harga sewa pasar yang dinilai untuk kios makanan matang non-subsidi tetap stabil di sekitar S$1.200 per bulan sejak 2019, dan hanya sekitar 4 persen dari kios makanan matang di pusat-pusat jajanan saat ini yang membayar sewa di atas tarif pasar yang dinilai. Hawkers dari angkatan perintis juga diketahui membayar tarif sewa bersubsidi.
Namun, skeptisisme muncul di kalangan masyarakat dan warganet mengenai efektivitas inisiatif pemerintah dalam mengatasi kenaikan harga makanan yang berakar pada masalah sewa tinggi di pusat jajanan. Ada desakan agar pemerintah mempertimbangkan untuk menghapus proses penawaran terbuka demi sistem pengundian dengan batas maksimum untuk mencegah tawaran yang terlalu tinggi. Selain biaya sewa, kenaikan harga bahan baku dan tenaga kerja juga menjadi tantangan signifikan bagi para penjual. Perubahan perilaku konsumen, dengan frekuensi makan di luar yang menurun, turut memperburuk kondisi sektor F&B.